- Pendidikan
Budi Pekerti Anak
Wayang dapat dijadikan
sarana pendidikan budi pekerti luhur yang efektif bagi anak-anak. Dalam
pementasan wayang terdapat bentuk-bentuk ajaran moral yang lengkap dan kemudian
dibakukan dalam bentuk sanepa, piwulang, dan pituduh bagi kehidupan manusia
untuk mencapai kehidupan dalam suasana kedamaian. Dengan demikian, wayang
merupakan cerminan falsafah hidup orang Jawa atau dengan kata lain wayang
merupakan ungkapan filsafat Jawa.
Pesan-pesan moral dalam masyarakat Jawa yang
disampaikan lewat media seni wayang dapat berupa ungkapan-ungkapan tradisional
yang mengandung makna pendidikan moral yang sering disebut sebagai adiluhung.
Ungkapan tradisional seperti sing becik ketitik sing ala ketara (yang baik
kelihatan yang jelek kentara), titenana wong cidra mangsa langgenga (perhatikan
orang curang takkan abadi) dan sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti
(keberanian, kekuatan, dan kejayaan dunia hancur oleh kebaikan) menunjukkan
bahwa eksistensi dan esensi moralitas dijunjung tinggi dalam budaya Jawa.
Kebanyakan agama yang universal juga mengajarkan sikap hormat terhadap
kehidupan manusia.
Sepi ing pamrih adalah kesediaan untuk tidak
menomorsatukan diri sendiri, rame ing gawe adalah kesediaan untuk melakukan apa
saja yang menjadi kewajiban tanpa menentukan apa yang menjadi kewajiban itu.
Ciri kedua dari dua keutamaan formal itu adalah bahwa intinya terdapat pada
kesediaan untuk membatasi serta menyesuaikan diri dengan harapan-harapan
masyarakat. Orang yang sepi ing pamrih tidak lagi mempertahankan haknya untuk
mengusahakan tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingannya sendiri, baik yang
bersifat bukan moral maupun yang bersifat moral. Orang yang rame ing gawe
bersedia untuk memenuhi apa saja yang menunjukkan diri sebagai kewajiban
pangkat dan kedudukannya. Dua-duanya menuntut agar bukan kehendak seseorang
yang menjadi penentu sikapnya, melainkan harapan masyarakat.
Dalam etika Jawa dapat ditemukan dua
keutamaannya yang justru berfungsi untuk mengimbangi sikap seperti sepi ing
pamrih dan rame ing gawe, yaitu tuntutan untuk mengambil sikap moral sendiri
dan keberanian moral. Yang pertama menuntut agar orang jangan pernah menelan
begitu saja apa yang oleh pihak luar lingkungan sosial, adat istiadat, negara,
ideologi dikemukakan sebagai kewajiban moral; Yang kedua, menuntut agar orang
bersedia untuk mempertahankan sikap yang sudah sadari sebagai kewajiban dan
apabila dicela oleh pihak lain.
Pamrih merupakan bahaya kedua yang harus
diperhatikan orang. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengusahakan kepentingan
sendiri individualnya saja dengan tidak menghiraukan kepentingan-kepentingan
masyarakat. Secara sosial pamrih itu selalu mengacau karena merupakan tindakan
tanpa perhatian terhadap keselarasan sosial. Pamrih sekaligus memperlemah
manusia dari dalam, karena siapa yang mengejar pamrihnya memutlakkan keakuannya
sendiri. Dengan demikian ia mengisolasikan dirinya sendiri dan memotong diri
dari sumber kekuatan batin yang tidak terletak dalam individualitasnya yang
terelosasi, melainkan dalam dasar numinus yang mempersatukan semua kekakuan
pada dasar jiwa mereka. Ia mencari kepentingan-kepentingan dalam dunia dan
dengan demikian mengikat diri pada alam luar sehingga ia kehilangan kesanggupan
untuk memusatkan kekuatan batin dalam dirinya sendiri. Pamrih terutama
kelihatan dalam tiga nafsu, yaitu selalu mau menjadi orang pertama atau nepsu
menange dhewe, menganggap diri selalu betul atau nepsu benere dhewe dan hanya
memperhatikan kebutuhannya sendiri atau nepsu butuhe dhewe. Sikap-sikap lain
yang tercela adalah kebiasaan untuk menarik keuntungan sendiri dari setiap
situasi tanpa memperhatikan masyarakat atau aji mumpung.
2.
WAYANG SEBAGAI SARANA
MENUMBUHKAN MINAT DAN BAKAT ANAK
Kata tumbuh bermula dari sesuatu yang telah ada
dan menjadi milik kita. Sesuatu yang menjadi milik manusia tersebut berupa
harta kultural yang telah dimiliki oleh manusia tersebut sejak lahir. Harta
tersebut diperoleh dari pendidikan dalam keluarga, lingkungan dan masyarakat.
Minat adalah keadaan seseorang terhadap suatu hal. Dalam hal ini minat anak
kepada sesuatu, sementara apakah anak tersebut berbakat atau mempunyai talenta
tertentu terhadap sesuatu. Sesuatu yang dimaksudkan adalah harta kultural
tersebut. Apabila bakat dan minat tersebut digabungkan kemudian dibantu dengan
dorongan dari orang tua maka ia akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan
kehidupan si anak tersebut. Hal itu akan menjadikan anak tersebut mempunyai
kemampuan tambahan atau kemampuan khusus di bidang selain pendidikan formalnya.
Sementara itu potensi wayang tersebut kemudian
diberdayakan untuk menumbuhkan minta dan bakat dengan berbagai cara.
1.
Mendekatkan wayang sebagai lingkungan belajarnya. Lingkungan
belajar yang dimaksud adalah adalah lingkungan keluarga, sekolah maupun
masyarakat. Upaya pendekatan pada lingkungan belajar anak berarti upaya
mendekatkan pada budayanya, artinya anak dikembalikan pengolahannya atau
pendidikannya pada konteks budayanya. Pada pendidikan keluarga, orang tua
memegang peranan yang besar. Oleh karena itu biasanya orang tua yang senang
kepada wayang, dengan menyediakan dan sering mendengarkan siaran radio atau
kaset wayang, melihat pertunjukan wayang baik pertunjukan langsung maupun
pertunjukan melalui audio visual. Orang tua memajang aneka media bisa berupa
gambar tokoh-tokoh wayang, pethilan suatu peristiwa dalam pertunjukan wayang,
serta menyediakan aneka buku bacaan cerita wayang.
2.
Melalui pembiasaan budaya
juga bisa dilakukan dengan melalui pembiasaan yang diungkapkan melalui
ungkapan-ungkapan bahasa, dan sitiran dari ajaran cerita pewayangan yang
terungkapkan melalui ungkapan-ungkapan bahasa, dan sitiran dari ajaran cerita
pewayangan yang terungkapkan melalui dialog-dialog pembicaraan sehari-hari.
Pembiasaan budaya akan lebih baik bila disertai dengan pembiasaan berbahasa
Jawa dalam keluarga, terutama pada keluarga yang berbahasa ibu bahasa Jawa.
3.
Dapat dilakukan dengan cara memprioritaskan wayang sebagai hiburan
dalam keluarga.
4.
Dapat dilakukan dengan cara mengajarkan secara khusus baik melalui
pendidikan formal yang tertuang dalam kurikulum pendidikan formal tingkat dasar
maupun menegah, atau pada pendidikan non formal seperti kursus dan sanggar.
Pada pendidikan formal mengacu makalah dari Suminto A Sayuti (2005), menggali
dan menanamkan kembali wayang sebagai budaya lokal lewat pendidikan dapat
dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri
sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa, dan semacam filter dalam
menyeleksi pengaruh budaya luar. Pendidikan non formal yang dimaksud seperti
misalnya mengikutkan anak kursus nembang, karawitan, pedalangan, dst.